Sabtu, 25 Februari 2012

Sepucuk Surat

selamat menonton
video ini sebagai bahan renungan, agar kita selalu menyayangi orang tua kita :)

Sabtu, 28 Januari 2012

BUAT IBUNDA DAN BAPANDA TERSAYANG

Alloh....
sampaikan pada ibunda dan bapanda....
bahwa saya sangan menyangi mereka...
kemarin saya teramat sombong...
bahwa untuk menelepon mereka saya melupakannya
dengan alasan yang lagi2 klise "sibuk"

ibunda dan bapanda tersayang
doakan ananda agar semakin dekat dengan cita2 ananda
bahkan terkadang anada jatuh bangun dibuatnya
sakit emang sakit
tapi suara dan semangat kalianlah yang membuat saya bangkit

ibunda dan bapanda tersayang
jagalah kesehatan kalian
agar ketika aku pulang kelak
aku masih ingin kalian segar bugar
aku masih ingin melihat senyum indah nan tulus itu

ibunda dan bapanda tersayang
tunggulah aku beberapa tahun lagi
itu waktu yang sebentar
aku akan pulang selama2x di rumah kita tercinta
aku akan merawat kelian bak raja dan ratu
dan takkan kuijinkan kalian untuk bekerja lagi
biarkan aku yang menggantikan pekerjaan kalian
kalian cukup merayakan hari tua dengan bahagia
dengan anak2mu
dengan cucu2mu

ibunda dan bapanda
trimakasih disetiap sholat2mu
disetiap sepertiga malammu
selalu mendoakan ananda
mendoakan kuliah ananda
mendoakan jodoh ananda
mendoakan pekerjaan ananda kelak
dan yang terbaik buat ananda
dengan air mata kalian ananda mampu berdiri tegar
ananda meskipun bukan menjadi sosok yang terang seperti matahari disini
dan mungkin anada akan tenggelam dalam kerumunan orang banyak namun ananda pasti akan dilihat

PASTI PASTI....

*salam cinta buat ibunda dan bapanda tersayang*
umi....
hari ini aku teramat sangat ingin memelukmu
walau hanya 5 menit saja...

umi....
hari ini aku merasakan
bahwa ternyata aku teramat sombong
untuk bercengkrama dengan hatiku saja aku mungkin tidak mampu

umi....
hari ini aku terlalu banyak mengeluh
hingga2 aku lupa bersyukur

umi...
hari ini aku di ingatkan oleh salah seorang teman yang sangat baik
dengan katanya2 yang bijak
aku dibuatnya berfikir akan semua kata2ku yang kemarin

umi....
aku lama2 mengagumi sosok sang teman
dan lama2 aku mempelajari arti kehidupan pada dya
dya juga mengajariku bagaimana menjadi sosok kakak yang baik
meskipun aku tidak punya seorang adek

umi....
sebenarnya aku ingin lebih banyak lagi bercerita kepadamu
tapi sayang
malam ini achhh mungkin pagi ini
aku sudah teramat mengantuk....

umi aji....
salam cinta dari anakmu tersayang
muachhhhhhhh.....



Selasa, 24 Januari 2012

“IZINKAN AKU MENCINTAIMU WALAU AKU LIBERAL”: KETIKA FILSAFAT DAN CINTA TIDAK LAGI BERJARAK (Part IV)

Di Barat sejak zaman modern diskursus agama berpindah dari tangan teolog ketangan para filosof.  Pernyataan theology was subservient to philosophy atau under the tutelage of philosophy adalah realitas yang tidak disesali. Artinya teologi menjadi bulan-bulanan para filosof. Untuk sekedar menyebut beberapa nama, Sartre, Heidegger, Jung, Ludwig Feurbach, William James, Nietzsche, Kant dan lain-lain, adalah filosof-filosof yang bicara soal agama. Padahal mereka tidak punya otoritas untuk bicara teologi. (DR. Hamid Fahmi Zarkasyi)



Waktu sudah mengarah ke angka sembilan. Suasana malam di Ciputat berwarna remang-remang. Bohlam besar di tengah taman Fakultas Ushuluddin dan Fisafat memancarkan sinar ke lorong-lorong gelap basement. Gedung berlantai tujuh ini semakin malam semakin ramai. Canda tawa diantara mahasiswa mengalir ditemani dentuman-dentuman suara musik yang terdengar sayup dari depan student centre.

Reza tertunduk. Ia berjalan di lantai dasar fakultas tidak lagi melihat pandangan. Di kanan-kirinya sudah banyak para Sales Promotion Girl  (SPG) bergentayangan. Berbusana ketat, dengan satu buah bungkus rokok tertawan di tangannya.

”Rokok mas. Kita lagi promo.”

”Tidak-tidak,” Reza menyilang-nyilangkan tangannya.

SPG itu kemudian mengejarnya, ”Dicoba satu juga tidak apa-apa, mas”

Reza cepat menghindar. Kepalanya terbenam malu. Ia merasa sebagai anak tiri kebenaran. Inilah UIN Jakarta. Betul kata Nirwan Syafrin, ustadz muda dari Sukabumi dengan gelas Doktor dari Malaysia itu. Liberalisme telah gagal di UIN. Boleh jadi. UIN memang sudah tidak lagi menerima pesanan untuk melahirkan pakar hadis. Jatahnya sudah habis. Expired menurut Theodor Adorno. Namun sebagai gantinya, liberalisme telah melahirkan musuh baru: Hedonisme.

Reza merasa jengah. Kedua tangannya terlipat. Ia berjalan semakin cepat menjauhi ”mbak-mbak” itu. Namun belum jauh ia melangkah, seorang wanita berperawakan muda kembali menghampirinya. Tubuhnya semampai. Rambutnya terburai panjang.

”Mas. Minumannya mas,” tawarnya dengan senyum mengembang.

Kali ini mahasiswa semester tujuh jurusan Tafsir Hadits itu tidak bisa berdiam diri. Reza memberhentikan jalannya. Ia berbalik badan dan menurunkan penutup kepala di jaketnya. Dengan ucapan tegas dan telunjuk yang mengacung-ngacung, ia bergumam, ”Apa anda tidak melihat. Kampus ini adalah kawasan wajib berbusana muslimah!” bentak Reza.

Wanita penjual minuman itu tersentak.

”Apa anda tidak sadar. Kami semua disini adalah santri,” nafas Reza mulai naik turun sebelum ia melanjutkan kata-katanya, ”Kami adalah generasi dimana pundak kami sudah tertanam amanah dari ibu-bapak kami. Kelak anaknya adalah penerus Ibnu Siena yang sudah mati. Bahwa Imam Ghazali adalah deialektika dalam saintifika kami.”

Penjual minuman itu masih diam, namun kakinya kini melaju mendekati Reza. Kedua tangannya bertolak pinggang, ”Saya tidak melihat kampus anda memberitahu bahwa perempuan wajib berbusana muslimah. Setahu saya, kami hanya menjalankan tugas. Sedang ada konser musik di kampus anda dan kami adalah sponsor. Pihak kampus juga sudah menyetujui. Justru kami mempertanyakan hak kami, bukan anda. Mengerti?”

Gantian Reza terdiam.

”Kami sedang cari makan, mohon jangan ganggu kami,” sibak perempuan itu di kerah baju Reza.

Dan mulut Reza akhirnya mengecil. Telunjuknya perlahan-lahan menurun beberapa centi dari wajah penjual minuman itu. Reza baru terbangun dari mati surinya. Ia lupa ini UIN Jakarta, bukan pesantren. Ia lupa ini Ciputat, kota satu-satunya di Asia yang langsung berbatasan dengan Frankfurt dan memiliki nama lain berupa dekonstruksi. Jangan pernah bermimpi melihat plang itu tegak menyambut mahasiswa di depan UIN, Reza. Kita adalah anak-anak muda Islam yang dipaksa ”kafir” oleh keadaan.

Dan akhirnya di sepanjang perjalanan, pemuda itu disuguhkan tentang definisi sesungguhnya dari lema ”apalah arti sehelai kain”. Di depan Aula Madya ada anak-anak muda Kelompok Teater itu kini sudah tidak canggung lagi melepas jilbabnya. Membaca puisi tentang dekonstruksi definisi aurat. Sedang di depan lapangan student centre, ratusan pemuda koplo sedang sangit menyentakkan kaki mendengar alunan lagu band-band melow yang memliliki tuhan baru benama suara.

Reza akhirnya terbujur kaku di Mesjid Fathullah. Sebuah Mesjid terbesar di Ciputat. Berlokasi persis di samping Rumah Sakit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di atas sajadah, Reza mengiba pada Allah betapa impian jauh dari harapan. Tangannya menengadah. Cita-citanya menjadi santri sukses mesti diganggu seorang ”mahasiswa baru” bernama Heurmenetika. Dosen-dosennya memang memiliki nama Ahmad, Thoha, Abdul, Siti, namun kenyataannya mereka hanyalah orang yang percaya derajat Nasr Hamd Abu Zayd lebih tinggi dari nabi. Bahwa Arthur Jeffrey lebih pas membukukan Al Qur’an ketimbang Usman Bin Affan.

Kepalanya berputar. Umurnya semakin menua. Gelar sarjana sudah di depan mata. Ia hanya menyisakan satu mata kuliah, yakni Heurmenetika. Problemnya adalah bahwa mata kuliah ini mengharuskan tiap mahasiswa Tafsir Hadits di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ”membunuh” Syariat Islam dengan cara kasar. Namun Reza tidak sampai hati. Tidak ada santri manapun yang mampu mengkhianati amanah kiyainya. Hingga di tengah kegalauan hati, seorang dosen menangkap isyaratnya,

”Assalamu’alaikum. Apa kabar, akh Reza?”

Reza menghentikan lamunannya. Ia menatap pria soleh itu di sampingnya, ”Subhanallah, Ustadz Hanif.”

Ustadz Hanif adalah dosen Ushuluddin terkemuka di UIN. Beliau memang seperti namanya: Hanif. Berasal dari akar kata ha-ni-fa yang memiliki makna mâla, cenderung. Tetapi juga bisa bermakna istiqâma atau lurus. Betul adanya, walaupun Ustadz Hanif sedari kecil sudah mendekam di Barat dan merampungkan S3 Islamic Studies di Oxford, tapi sama sekali tak terbetik di hatinya untuk menyimpan kebenaran dan bergabung menyebarkan virus liberalisme di kampus.

Sebaliknya, Ustadz muda berumur 40 tahun ini justru berani secara terbuka mengkritik westernisasi pemikiran di UIN.

”Saya saja yang dari kecil di Barat tidak puas atas peradaban Barat, lha kok ini wong Jowo baru mengambil pasca di UIN dan hanya tiga bulan di Inggris sudah mengganggap Barat final. Keseteraan Gender sesuai dengan perkembangan zaman. TOEFL saja cuma empat setengah (baca: 450). Makan hamburger saja meriang.”

”Hahaha..” gemuruh para mahasiswa Forum Mahasiswa Muslim (FMM) UIN ketika mengadakan diskusi bulanan di Aula Madya UIN bertema ”Dikotomi dalam Literatur Sains Barat.” Ucapan Ustadz Hanif itu menyindir beberapa rekan-rekan dosen di UIN yang pecicilan terhadap Barat. Mental defeat.

Ustadz Hanif memang terkenal terampil membalikkan statement-statement relativisme. Di kelas, ia juga berkali-kali mematahkan logika Postmodernisme-nya Derrida dan Adorno pada mata kuliah Pengantar Logika. Analisisnya di kolom pemikiran Islam pada salah satu media nasional kerap membuat gerah para petinggi UIN yang masih setia akan westernisasi pemikiran. Tipe dosen kegemaran Reza yang tidak pernah terfikir untuk menjilat Barat. Reza masih ingat betul, Ustadz Hanif membeberkan pemikiran Cak Nur yang hanya menjadi muqallid dari gagasan sekuarisasi-nya Harvey Cox. ”

Tidak ada yang baru,” pungkas dosen yang mengambil Master di Birmingham itu pada mata kuliah Metodologi Studi Islam, dua bulan silam.

Reza tersenyum. Malam itu ia dihibur sang Ustadz.

”Inilah jalan dakwah, akhi. Dakwah pasti mengalami benturan. Ia akan terjadi ketika al haqq berkonfrontasi dengan kebathilan. Kita tidak boleh menyerah. Kalau kita menyerah, justru mereka semakin senang. Belajarlah dari Imam Syafi’i bahwa keterbatasan dan ketakutan tidak menghalanginya untuk gigih berdakwah. Aktifkanlah disuksi keislaman di FMM. Mereka kajian empat sekali seminggu. Bahkan orang Yahudi mempelajari Islam 20 jam sehari. Masak kita kalah. Antum adalah aset UIN. Kami para dosen menampuk harapan besar pada antum dan kawan-kawan yang rajin membumikan dewesternisasi sains disini.”

Dada Reza yang gersang bagai dialiri air salsabila. Memancarlah aura muka optimisme dalam celah hatinya.

”Jazakallah Khoiron, Ustadz. Tausiyah Ustadz-lah yang selama ini kami tunggu-tunggu.”

Ustadz Hanif menepuk pundak Reza, ”Jadilah mujahid muda yang membanggakan Islam, akhi. Muhammad Natsir Ciputat yang gigih walaupun pemikiran Belanda telah mengelilinginya. Tak malukah antum kepada genangan darah Sayyid Quthb, lumuran pena AnNabhani hingga derap Qur’ani dalam nafas Asy Syahid Rantisi. Semangat jihad kita belum ada apa-apanya dengan mereka. Kita! Adalah generasi Islam yang ditakdirkan Allah untuk menyelamatkan mereka, akhi. Menyelematkan Rahmat, Fauzan, Sena.. dan..”

Reza menaikkan kepalanya menatap Ustadz Hanif, ”Dan siapa, ustadz?”

Ustadz Hanif seperti tersenyum sebelum melanjutkan teka-tekinya, ”Arisiska. Arisiska Lenila Wahid. Penampuk beasiswa shourt course di McGill dan Yale. Mahasiswa Terbaik UIN yang sedang kena tipu daya dunia itu.”

Reza kembali menunduk lalu membuang muka ke samping.

Tiba-tiba ponsel Reza berdengung. Ringtone-nya sesuai dengan semangatnya: Suci Sekeping Hati milik Saujana.

Ia mengeluarkan dan mengangkatnya,

”Assalamu’alaikum, ada apa Jaka?”

Jaka sedikit terisak. Ia seperti menangis. ”Adik perempuanku Reza.. adikku..”

”Kenapa adikmu?”

Melanie Klein Jaka sulit melanjutkan kata-katanya, ”Adikku Reza, dia menjadi korban feminisme.”

”Apa?!”

”Ia tidak mau menikah dan memilih menyalurkan syahwat dengan sesama jenisnya.”

Reza kemudian menghadapkan wajahnya ke arah Ustadz Hanif.

Klik. Ponsel Reza mati. Aura wajahnya berubah geram. Ia mencengkeram tangannya sendiri dengan kuat, ”Aku tahu siapa pelaku sesungguhnya.”



Nama Arisiska dielu-elukan. Mahasiswi Filsafat semester lima itu mengubah hidupnya secara drastis. Pundi-pundi uang bergelimang memenuhi koceknya. Buku-bukunya laku keras di pasaran. Semuanya itu dilakukan hanya bermodalkan satu kata: Kontroversi!

Arisiska tiba-tiba menjadi tenar. Ia betul-betul menjadi mahasiswi cantik. Tidak hanya di pemikiran tapi juga estetik. Namanya disejajarkan dengan Ahmad Wahib. Soe hok Gie sampai Aung San Suu Kyi. Bayangan kesembuhan adik autis dan sakit ibunya seperti sudah berada di depan mata. Jika menjadi pembicara, gelarnya bukan lagi mahasiswa, tapi intelektual muda.

“Jadi ketidakadilan ini dapat dilihat dari bagaimana terjadi perbedaan alat kelamin antara laki-laki dengan perempuan. Sebagian psikolog mendelegasikan bahwa hal itulah yang membuat mengapa anak perempuan senang menyiram kebun. Sebab dengan memegang selang air atau gagang penyiram, anak perempuan merasakan seolah-seolah sedang memegang penis dan kencing dengan jarak yang jauh. Seperti kisah dari Havlock Ellis tentang seorang pasien wanita yang tersentak begitu mendengar suara pancuran air mancur. Jadi menurut saya laki-laki tidak boleh merasa lebih hebat ketimbang perempuan. Sebab perbedaan ini hanyalah pada hal yang tidak elementer. Hanya sehelai tubuh. ”

Arisiska duduk di atas meja, menyalakan korek api, dan menyemburkan asapnya. Ia baru saja menjawab pertanyaan salah seorang pelajar putri dari sebuah Madrasah Aliyah dengan rujukan  psikoanalisis. Pelajar putri itu heran mengapa banyak terjadi ketidakadilan dan diskriminasi terhadap perempuan. Kenapa Surat ArRahman hanya menyebut bidadari bagi laki-laki di surga sedangkan tidak ada frase bidadara bagi perempuan.

”Itulah mengapa Al Qur’an tidak bisa lagi ditafsirkan secara tekstual.” pungkas Arisiska.

Arisiska mengambil bak rokok dan membenturkan batang rokok melihat abu yang mulai memanjang. Ia sengaja meletakkan buku pengantar Filsafat Wanita di mejanya. Pada hari ini, ia melakukan training for trainer bagi anak-anak SMA, Pesantren, dan Madrasah Aliyah yang akan menjadi mentor bagi Pendidikan Seks untuk sejumlah murid-murid sekolah dasar. Berlokasi di sebuah vila dekat Situ Gintung, Arisiska memberikan modul-modul penunjang yang berkisar mengenai tema-tema seksualitas. Suasana training cukup menarik. Kegiatannya pun tidak membosankan. Ada games, focus group discussion, tanya jawab hingga pemutaran film.

”Salam sejahtera. Selamat pagi kawan-kawan sekalian. Shalom. Kenalkan saya Rani dari SMA Relativitas. Agama saya Kristiani. Saya mau bertanya, kak Arisiska anda menulis bahwa Tuhan tidak pernah melihat seorang hamba dari orientasi seksual hambanya, tapi dari amalnya. Apakah karena ini ya beberapa Paus di kalangan agama kami, sering melakukan itu? Terimakasih.”

”Hahahaha…” Gemuruh tawa disusul tepukan tangan para audiens yang rata-rata remaja itu.

”Oke pertanyaan singkat tapi menggigit. Anda jangan salah, kalau anda membaca tafsir bible justru homoseksualitas itu sah-sah saja.”

”Lho darimana melihatnya, kak?” Rani menggaruk-garukkan kepalanya dengan ujung pensil.

Arisiska mengambil alkitab lalu meneruskan jawabannya,” Beberapa bagian Alkitab memang tak dapat kita pungkiri menjadi dasar bagi penolakan sebagian umat Kristen terhadap homoseksualitas. Biasanya ayat-ayat itu tak lepas dari  Kejadian 19, Imamat 18:22, Imamat 20:13, Roma 1:26-27, I Korintus 6:9-10, 1 Timotius 1:9-10, dan Yudas 1:7. Nah problemnya kita tidak melihat konteks bagaimana munculnya ayat-ayat tersebut sebagai sebuah legitimasi teologis dalam bible.”

“Sebagai contoh?” kejar Rani.

Arisiska mulai berdiri dari tempat duduknya. Ia meletakkan sesaat tembakau bakarnya,

“Adalah kejadian 19 mengenai kisah Lot dan kota Sodom dan Gomora yang dihukum Tuhan. Penafsiran yang umum di kalangan Kristen mengenai penghukuman Tuhan kepada kota tersebut adalah dikarenakan perilaku seksual yang dianggap menyimpang di kota tersebut yakni persetubuhan laki-laki dengan laki-laki, dan ditambah lagi dengan adanya pemaksaan salah satu pihak kepada pihak lain seperti sodomi. Kisah ini menjadi dasar penolakan sebagian kaum Kristen terhadap perilaku homoseksualitas.

Arisiska kemudian coba melakukan liberalisasi penafsiran pada ayat ini, “Nah, padahal teks ini tidak memberikan petunjuk jelas mengenai bentuk kebobrokan kota Sodom. Secara jernih, teks ini hanya menyatakan alasan para lelaki di kota tersebut hendak menyodomi kedua orang asing tersebut, yakni kedua orang asing yang dipandang mau menjadi hakim atas mereka (19:9).

Pemudi yang juga menjadi aktivis gereja ini mulai mengangguk-anggukan kepalanya. “Saya mulai bisa mencernanya.”

Arisiska masih belum puas. Ia lalu membengkokkan kajian pada wilayah kesejarahan, “Di dalam konteks zaman kuno di Timur Tengah, penyodomian terjadi sebagai bentuk penghinaan dan perendahan martabat dari pihak yang menang atau lebih berkuasa kepada pihak yang kalah atau lebih lemah. Biasanya hal itu terjadi kepada raja yang kalah perang, atau kepada orang asing yang datang di suatu tempat dan disodomi oleh penduduk asli sebagai tanda dominasi penduduk asli. Dengan demikian, teks Kejadian 19 ini tidak bisa dipakai sebagai legitimasi teologis untuk menolak homoseksualitas, melainkan teks yang membela kaum yang tertindas dan diperlakukan semena-mena oleh pihak yang merasa diri lebih superior.”

“Jadi menurut anda homoseksual dalam agama kami sah-sah saja?”

“Tidak saja hanya sah-sah saja, bahkan memiliki landasan historis. Adalah bodoh dan memiliki cacat teologis jika menjadikan keharaman homoseksualitas sebagai hukum baru.

Tanpa disadari kita sudah mengambil alih peran Tuhan untuk membentuk aturan baru.”

Salah seorang santri gantian mengangkat tangan, “Lalu bagaimana pada agama Islam?”

Arisiska kemudian berkata lantang, “Kita harus membedakan ayat-ayat hukum dan ayat-ayat kisah yang tentunya tidak dapat langsung dikaitkan melalui kaidah-kaidah hukum.

Persoalannya adalah bahwa kisah Nabi Luth yang memiliki kesamaan dengan kisah Sodom dan Gomora dalam Kejadian 19 dari kitab Kristen biasanya menjadi klaim kebenaran dalam menentang homoseksualitas. Padahal kita harus ingat di dalam kisah tersebut bahwa yang sebenarnya dikatakan sebagai penyebab kota Sodom yang dihuni Luth dihukum Allah bukanlah karena praktik homoseksual, melainkan penduduk kota yang melakukan berbagai kejahatan seperti tindakan onar, pencurian, dan lain sebagainya. Dengan demikian, jika kisah Luth tersebut hanya dilihat dari satu sisi saja dan digunakan untuk pembenaran dalam menolak praktik homoseksualitas, saya khawatir Tuhan akan cemburu, karena hambaNya mencoba menggantkan posisiNya. Dan hal itu sama saja dengan musyrik.”

“Great..”

“Jadi tidak ada satupun ayat di Al Qur’an yang melarang homoseskualitas!” tegas Arisiska meyakinkan.

“Siapa bilang tidak ada ayat di Al Qur’an yang melarang homoseks?!”

Semua peserta tertuju pada seorang laki-laki yang baru datang membuka pintu dari belakang.

Mata Arisiska terbelalak, “Reza…”

-Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi-

*Penulis adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif pada kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, diantaranya HMI, Forum Kota, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR) UIN Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Selepas kuliah, kini aktif pada diskusi sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan Kuliah Peradaban Islam DISC UI.

#

Glosary

Mazhab Frankfurt ialah sebuah nama yang diberikan kepada kelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, Jerman, dan pemikir-pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Tahun yang dianggap sebagai tahun kemulaian Mazhab Frankfurt ini adalah tahun 1930, ketika Max Horkheimer diangkat sebagai direktur lembaga riset sosial tersebut. Beberapa filsuf terkenal yang dianggap sebagai anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Theodor Adorno, Walter Benjamin, dan Jürgen Habermas. Perlu diingat bahwa para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau ‘mazhab’, dan bahwa penamaan ini diberikan secara retrospektif. Walaupun kebanyakan dari mereka memiliki sebuah ketertarikan intelektual dengan pemikiran neo-Marxisme dan kritik terhadap budaya (yang di kemudian hari memengaruhi munculnya bidang ilmu Studi Budaya), masing-masing pemikir mengaplikasikan kedua hal ini dengan cara-cara dan terhadap subyek kajian yang berbeda.

Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama hidup. Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya sekali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Dari golongan penganut paham inilah muncul Nudisme (gaya hidup bertelanjang). Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epikuris yang menyatakan,”Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati”.

Homoseksualitas mengacu pada interaksi seksual dan/atau romantis antara pribadi yang berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan. Pada penggunaan mutakhir, kata sifat homoseks digunakan untuk hubungan intim dan/atau hubungan sexual di antara orang-orang berjenis kelamin yang sama, yang bisa jadi tidak mengidentifikasi diri merek sebagai gay atau lesbian. Homoseksualitas, sebagai suatu pengenal, pada umumnya dibandingkan dengan heteroseksualitas dan biseksualitas. Istilah gay adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada pria homoseks. Sedangkan Lesbian adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk merujuk kepada wanita homoseks.

“IZINKAN AKU MENCINTAIMU WALAU AKU LIBERAL”: KETIKA FILSAFAT DAN CINTA TIDAK LAGI BERJARAK (Part III)

Hebat sekali filsafat itu bahkan menimbulkan takut dan segan orang lain yang merasa jiwanya terlalu kecil buat menghadapinya. Beribu-ribu buku dikarang, beribu-ribu ahli pikir mengeluarkan pendapatnya terkadang ada setengahnya manusia yang saking asyiknya dengan filsafat, sehingga dipandangnya bahwa agama hanyalah perkara kecil yang tidak menarik hati, sebab lekas beres! (Buya Hamka, Pelajaran Agama Islam)


Arisiska terdiam. Reza menahan kata-katanya. Ia mencoba sesabar mungkin menghadapi Arisiska. Dengan penuh empati, Reza mencoba menyadarkan,

“Andai kakakmu masih hidup. Engkau akan tahu betapa sakitnya ia memiliki adik sepertimu.

Adik yang diamanahkan oleh keluarga untuk mengemban amanah Islam. Kamu adalah adik perempuan satu-satunya, Arisiska. Dibesarkan dalam kultur santri di Jawa Timur semata-mata kelak keshalehahanmu lah yang mengantarkan kedua orangtuamu berlipat amalnya.”

Reza ingin menghindari konflik. Ia berbalik badan memunggungi Arisiska seraya berbicara kepada seluruh kawan-kawannya, “Mari kita semua pulang.”

Panji-panji FMM kemudian diturunkan. Satu persatu kader binaan Reza itu mulai meninggalkan tempat perkara. Ia berjalan pasti meninggalkan Arisiska seorang diri. Ciputat mendadak bungkam. Gedung Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang berlantai tujuh berhenti berderap. Angin sepoi-sepoi menambah suasana dingin. Pepohonan di tengah taman fakultas melambai-lambai dipeluk angin. Reza akhirnya benar-benar meninggalkan Arisiska seperti Carl Gustave Jung tidak ingin lagi bersahabat dengan Sigmund Freud hanya karena beda pendapat.

Ya penggemar Taqiyudhin An Nabhani dan Said Hawa itu berjalan penuh kepastian dengan satu doa terucap: kelak gadis itu sadar atas tingkah lakunya selama ini.

Tidak puas atas sikap Reza, Arisiska mengejarnya dari belakang.

“Apakah salah jika aku berfilsafat?”

Langkah Reza tertahan. Tiba-tiba mulutnya tidak bisa menjawab. Ia seperti seorang remaja berumur 14 tahun dalam novel Dunia Sophie yang tak bisa berkata-apa ketika mendapati surat-surat misterius menumpuk di rumahnya. Reza baru sadar jika Arisiska adalah filosof. Bahkan sudah kadung dianggap nabi oleh sebagian mahasiswa Ushuluddin. Satu-satunya nabi berkelamin kemayu yang menyebarkan agamanya dengan memakai cinta, bukan bahasa.

“Apa aku salah meminang akalku untuk mencari kebenaran?” ucap Arisiska lirih dan kemudian berubah cepat saling menyambung, “Ketika orang sudah berlari jauh, ketika Eropa sudah tercerahkan, dan ketika Yahudi sudah jauh meninggalkan kita.”

Arisiska berhenti bersuara lalu menyeru dari belakang,

“Jawab Akhina Reza? Reza yang kukenal adalah teman baik kakakku dan selalu berkata bahwa umat Islam tidak boleh mati dengan status bodoh.”

“Tidak ada yang salah dengan Filsafat, Arisiska.” jawab Reza masih membelakangi.

“Lalu kenapa aku selalu keliru di matamu?”

“Karena Filsafat adalah metode berfikir, sedangkan Perenialisme dan Heurmenetika adalah wacana.” Jawab Reza cool.

“Ahhh……”

Reza kemudian berbalik badan. Ia menjawab dengan gaya bicara yang nyaris melukai retorika Sayyid Quthb, “Islam tidak pernah melarang hambanya berfikir. Ia adalah rasionalitas tertinggi dalam peradaban. Yang menjadikan akal sebagai fondasi maknawi dengan ikatan Wahyu. Islam-lah satu-satunya agama yang berani menantang Yunani ketika Romawi terjajah hegemoni aqli. Rasionalitas itu jauh melampaui peradaban modern kini. Sebab ia sudah mendamaikan sengketa akal dan inderawi sejak zaman Al Ghazali, Al Kindi, Al Farabi, hingga gemintang Filosofi Qur’ani yang terlukis dalam derap nafas Ibn Qayyim Al Jauzi.”

Tubuh Perempuan adalah sebuah panggung drama. Demikian diungkapkan oleh Simone de Beauvoir (1908-1986), seorang feminis yang terkenal dengan bukunya, The Second Sex “Bangkitlah wanita peradaban dari keterpurukanmu atas keterjajahan Barat yang tidak ada apa-apanya dalam Islam. Dari satu simpul ke simpul lain saat tauhidi lepas ditanganmu. Ketika filsafat menjauhkan manusia dari kebahagiaan karena tidak disertai bimbingan wahyu. Esensi filsafat Islami jauh mendalam daripada itu. Sebuah aktivitas berfikir yang sudah satu paket membawa manusia tentram hingga kelak badan kita sudah membiru.”

Arisiska berkata lirih, “Apakah kau fikir aku selama ini tidak beradab? Apakah karena aku memiliki bacaan berbeda denganmu lalu kau bisa men-just aku tidak bertauhid?”

Reza tidak mengerti. Ia tidak maksud seperti itu.

“Andai engkau pun tahu kenapa aku menjadi seperti ini?” ringkih Siska dengan gambar Immanuel Kant setia menggantung di bajunya. Poninya keluar melambai-lambai di tiup angin persis feminis sedang sakit hati.

“Aku tidak bermaksud seperti itu?”

Arisisika menatapnya nanar lalu pergi. Berjalan dengan limpahan haru mendalam menyisakan aroma kesedihan. Hegelian muda itu terdampar di belakang Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, meratapi dirinya sendiri yang tidak lebih hina dari seekor anggur.

“Haruskah ukuran moral baik dan benar seorang wanita dilihat dari bacaannya? Ada yang salah dengan filsafatku? Apakah salah jika aku bertanya apakah tuhan itu ada? Bukankah Tuhan Maha Pengasih dan tidak perlu tersinggung dengan ucapanku.”

Limpahan tangis kembali bercecer di matanya. Presiden BEM Fakultas Ushuluddin yang biasanya berteriak lantang itu kini membisu. Tidak ada lagi ucapan-ucapan lantangnya menolak RUU Pornografi. Tidak ada lagi kata-kata bernyalinya menyatakan lesbianisme adalah hak tiap wanita. Tak terdengar lagi erangannya meminta wanita boleh memberi talak kepada suaminya.”

Hingga tiba-tiba HP nya berdering.

“Ada dimana kau nak? Cepat pulang ibu butuh kamu. Uhuk…” Tanya sang Ibu yang genap berumur lima puluh tahun.

Arisiska berdiri dari duduknya dan mengelap airmatanya, “Ibu kenapa? Ibu baik-baik saja?”

“Klik” HP nya mati.

“Halo..halo..”

Arisiska didera ketakutan. Ia menyadari ibunya sedang diuji dengan penyakit misterius, Kankernya sudah memasuki stadium empat. Arisiska lari ke rumah menancap motornya menuju kediamannya di sekitar Ciracas, Jakarta Timur. Di dalam rumahnya sudah banyak tetangganya duduk di samping ibunya.

“Ada apa dengan ibuku?” Tanya Siska gelagapan sambil membuka helm.

Bu Salimah tentagga dekat Arisiska mengatakan, “Kanker ibumu semakin parah, nak Siska. Ia mesti cepat dibawa ke Rumah Sakit.”

“Apapun akan kulakukan demi keselamatan ibuku.”

Bunyi serene ambulance meraung-raung mengantar tubuh ibunda ke Rumah Sakit Pasar Rebo Jakarta. Arisiska mengantarnya hingga tepat di pembaringan opname. Hari ini betul-betul hari terberat dalam hidupnya. Namun setidaknya senyum seorang anak kecil cukup membuatnya tenang.

“Oppps.. apa kabar adikku?” Ucap Arisiska menggendong tubuh besar sambil mengecup kening adik autisnya. Rasa letihnya beraktivitas seharian terbayar jika sudah bertemu dan mencumbu adik bungsunya yang berumur delapan tahun itu. Sudah tiga tahun ini Arisiska dan almarhum kakaknya menghabiskan ratusan juta membiayai terapis panggilan untuk men-threat sang adik tersayang. Arisiska bertekad akan melakukan apa saja. Rela mati asal adiknya lepas dari belenggu autis.

Hingga kemudian senyumnya sedikit mengecil menyadari darimana uangnya selama ini berasal. Kata-kata pelacur dalam ucapan Jaka sontak mengisi relung pikirannya. Arisiska sadar. Ia memang pelacur. Bukan untuk tubuh, tapi pemikiran. Apalah daya ia terdesak.  Nurani bisa dibeli dengan cita-cita tentang arti ekonomi keluarga. Ia sadar telah menjilat asing, melawan fitrahnya sendiri: Sebuah tindak fatal dalam Islam. Arisiska sadar, balasan orang munafik adalah nyala api neraka.

“Apapun akan kakak lakukan demi senyum bahagia kamu, nak.” ucapnya haru menciumi Rama tak mau lepas dari pelukannya. Menempelkan pipinya lalu mengusap punggung adiknya. Rama adalah anak kecil pengidap autis. Orangtuanya terlambat mengidentifikasi gangguan pervasif yang jamak menimpa anak kecil ini. Alhasil baru pada umur 5 tahun Rama positif ditengarai mengidap autis. Sebuah tindakan identifikasi yang tidak hanya terlambat. Tapi blunder. Sebab seharusnya kita sudah mengetahui seorang anak mengidap autis pada umur dua tahun jika tidak mau situasi kian memburuk.

Kini, sehari-harinya Rama hanya sibuk memainkan gambaran-gambaran binatang, alat imitasi mobil, dan perangkat makanan. Kesemuanya adalah alat latihan pengenalan subyek pada terapi autis dengan pendekatan behavioristik. Arisiska selama ini memanggil pelatih professional dari Belanda yang memiliki link dengan Pusat Terapi Autis di Amerika. Per bulan ia meski merogoh kocek sebesar 3.500 USD. Nilai nominal yang sangat berat bagi perempuan sebatang kara yang sudah dianggap memiliki dua jenis kelamin bagi adik-adiknya.

Arisiska mengangkat adiknya ke awan, “Apapun akan kulakukan demi cinta kakak padamu,dik.”

Rama pun hanya diam saja. Ia sudah bisa tersenyum walau sedikit.

Belum reda keletihannya, tiba-tiba HP di sela celananya kembali berdering.

“Kakak, bagaimana dengan ibu?” Panggil Fadlan adik laki-laki Arisiska menelepon dari Bandung.

“Ibu baik-baik saja, kakak sudah mengupayakan untuk secepatnya melakukan operasi.”

“Tapi, dari mana uangnya kak? Biar Fadlan ikut bantu dari Bandung.”

“Tak usah kau pikirkan itu, dik. Kau fokus saja belajar. Jangan kau risaukan kondisi ini. Biar kakak yang menanggung semuanya. Bagaimana kuliahmu?” Arah Siska mengalihkan perhatian.
“Kak…. minggu depan Fadlan mesti bayar uang cicilan kuliah. Tiga hari lagi ada praktek di Jogja. Kakak ada sisa tabungan, Fadlan ingin meminjam.”

“Apa maksudmu? Sejak kapan aku mengajarkanmu untuk meminjam uang kepadaku. Uang kakak adalah uang kamu juga.”

“Aku tahu kesulitan kakak selama ini. Jerih payah kakak bekerja hingga larut malam demi kesejahteraan kami. Biarkan aku meminjam atau aku cari sendiri. Aku tidak ingin merepotkan kakak.”

“Keperluan praktek apa yang dibutuhkan Fadlan?”

“Fadlan mau beli alat mesin untuk keperluan kuliah, kak.”

“Jadi butuh uang berapa?”

“Dua puluh lima juta.”

Institut Teknologi Bandung (ITB) memang tergolong mahal. Untuk pendaftaran tahun ini saja, minimal calon mahasiswa baru meski merogok koceh 1,2 juta. Itupun belum tentu diterima.
“Mahal sekali?!” kaget Arisiska sejadi-jadinya.

“Kalau tidak dibayar, Fadlan tidak bisa praktek, kak.”

Arisiska terdiam mendengar kulminasi rupiah itu menggelinding di otaknya. Sekejap Arisiska beralih untuk memikirkan bagaimana cara menutupinya.

“Kakak kenapa?”

Dalam kondisi seperti ini, Arisiska membesarkan hati adiknya, “Jangan kau pikirkan masalah uang itu. Sudah sepatutnya seorang kakak membiayai sekolah adiknya. Kakak mana yang tidak senang melihat adiknya sukses. Kakak mana yang tidak ingin melihat adiknya bahagia. Berkembang menjadi laki-laki muda kebanggaan keluarga. Catat janjiku, aku akan mengantarkanmu menjadi sarjana terbaik ITB dengan pekikan terkeras di dunia.”

Fadlan berderai haru, “Terimakasih, kak. Semenjak ayah dan kak Ahmad tiada, Kak Arisiska lah yang selama ini mencari uang untuk kita semua. Kakak lah yang membimbing kami. Perempuan muda terbaik UIN yang sudah kutekadkan bahwa seluruh cintaku hanya tertumpah untukmu. Catat janjiku. Aku akan lulus sebagai sarjana terbaik ITB dengan hasil peneltian terbaik seluruh kampus. Aku akan tulis namamu dengan pena besar di Mesjid Salman tentang hakikat perjuangan seorang kakak berelamin perempuan yang telah menjadi ayah bagi kami semua.” ucap Fadlan yang juga Ketua Lembaga Dakwah Kampus Fakultas Geologi ITB.

Dan satu tetes airmata Arisiska kembali jatuh. Ia tidak sanggup berakata apa-apa. Saldo rekeningnya sudah menipis. Tiga minggu ini ia harus mendapatkan proyek. Mengingat ia juga telah tiga kali absen mengirim tulisan di Jurnal Filsafat Ketuhanan di salah satu Universitas tenar di Eropa. Perjanjian kontrak pada salah satu yayasan orientalis meminta komitmen Arisiska untuk membumikan Dekonstruksi dan Heurmenetika dalam Studi Islam. Melambungkan ajaran Feminisme sebagai acuan kepribadian wanita. Sampai menuntut pembebasan tidak mengenakan jilbab di UIN.

Arisiska berada pada posisi sulit. Bayangan ucapan Reza tadi bersanding bersama ibu dan kedua adiknya. Bagai menara gading. Sama tinggi-sama rendah. Kini segalanya harus dipertaruhkan. Mata Arisiska berembun. Isyarat ada galau di hati.

”Andai aku terlahir kaya dan tidak papa. Aku sudah siap menjadi muslimah sejati yang siap kau pinang, Reza.”

Arisiska tergeletak meratapi situasi pahit ini. Ia menelepon salah satu kerabatnya meminta kepastian adakah proyek yang bisa ia jalani.

“Kamu bisa menulis tentang Filsafat Wanita? Sigmone De Beauvoir?” Tanya seorang wanita bule dengan bahasa Indonesia cukup fasih.

“Aku siap,” balas Arisiska mantap.

“Baiklah, kaitkan pemikirannya dengan alasan kenapa wanita Indonesia tidak perlu menikah.”

“Ah anda gila?”

“Lima ribu Dollar?”

“Aku minta lebih.”

“Tujuh ribu?”

“Sepuluh ribu! Aku akan membuat tulisan feminisme sebaik mungkin dengan menambahkan legitimasi dari pemikiran Islam. Indonesia adalah Negara religi. Jika tujuan anda adalah merubah mindset remaja dan orang dewasa., penekanan agama tetap harus dilakukan. Aku memiki channel dibeberapa madrasah Aliyah di Jakarta. Kita bisa memulainya dari pelajar hingga mahasiswa.

“Kau pintar Arisiska. Buat buku itu sebaik mungkin. Kalau berhasil, sepuluh ribu bisa jadi adalah angka minimal bagimu.”

Arisiska tersenyum, “Dimana kita bisa ketemu?”

“Komunitas Selara”

“Aku catat”

Arisiska larut dengan filsafatnya. Ia tidak memejamkan mata selama 22 jam penuh. Ia menulis. Bercinta dengan logika. Ia membaca. Ia mencumbu. Ia mengada. Mengada dengan genangan pemikiran Karl Marx, Sigmone De Beauvoir, Karen Horney, Hannah Arendt, Sigmund Freud hingga Abdullah Ahmad Naim dan Mahmud Muhammad Thoha. Kesemuanya itu dilakukan untuk sekedar mengatakan: Pernikahan adalah bentuk penindasan Pria terhadap Wanita!

Tak ada seorang kakak yang tega membiarkan adik kesayangannya mengidap autis seumur hidup. Melihat adik tampannya terlunta-lunta di ITB hingga ia terperosok melihat senyum ibunya yang akan dioperasi. Inilah waktu yang tepat bagi filsafat untuk semakin berjarak dengan cinta. Beban hidup selama ini sudah cukup meyakinkannya untuk siap menjadi kontroversi. Siap untuk didemo oleh ormas-ormas Islam. Bayangan sakit ibunya, autis adiknya, dan uang kuliah Fadlan membuatnya semakin yakin: “Maafkan aku ya Rabb, jika aku menjual agamamu..” Dan bayangan Reza muncul kemudian dalam hatinya. Ya sebuah percintaan yang aneh antara mahasiswi liberal dengan mahasiswa anti liberalisme.

-Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi-

*Penulis adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif pada kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, diantaranya HMI, Forum Kota, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR) UIN Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Selepas kuliah, kini aktif pada diskusi sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan Kuliah Peradaban Islam DISC UI.


Glosary

Feminisme adalah suatu agenda yang mempunyai mainstream bagaimana mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif, yaitu pria dan wanita harus sama-sama berperan baik di dalam rumah atau diluar rumah. Menurut kaum feminis, perempuan adalah sumberdaya manusia yang jumlahnya besar, bahkan di seluruh dunia jumlahnya melebihi pria. Akan tetapi, jumlah perempuan yang berpartisipasi di sektor publik selalu berada jauh dibawah pria. Dengan argumen-argumen seperti itulah mereka meneriakkan jargon-jargon emosional yang dapat menyentuh perasaan kaum wanita, seperti jargon perjuangan hak-hak wanita, penindasan wanita, subordinasi wanita, dan lain-lain. Dari cara itulah mereka mendapatkan dukungan untuk mencoba mengkritisi dan mendekonstruksi konsep gender dalam Islam yang jelas-jelas sudah disepakati para ulama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Heurmenetika. Istilah hermeneutika agaknya masih sangat asing di telinga sebagian besar umat Islam di tanah air. Tidak demikian halnya apabila melihat historis hermeneutika itu yang ternyata sudah ada selama berabad-abad lampau serta berkembang pesat di Eropa Barat. Sebagai sebuah metode interpretasi teks Bibel, hermeneutika terutama digunakan untuk mengakomodasi dinamika perkembangan zaman. Dan inilah yang lantas melahirkan tradisi sekular-liberalisme di Barat pada abad pertengahan. Kini, hermeneutika yang berasal dari tradisi Barat-Nasrani tersebut coba diterapkan pada Alquran.

Dekonstruksi adalah sebuah metode pembacaan teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Padahal, setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan selalu hadir sebagai konstruksi sosial yang menyejarah. Maksudnya, anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu kepada makna final. Anggapan-anggapan tersebut hadir sebagai jejak (trace) yang bisa dirunut pembentukannya dalam sejarah.

Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Yaitu, kecenderungan untuk mengacu kepada suatu metafisika tertentu, suatu kehadiran objek absolut tertentu. Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks. Salah satu bentuk dekonstruksi dalam Islam, dilakukan Cak Nur yang mendekonstruksi makna Islam menjadi sebentuk kepasrahan kepada Tuhan. Dengan begini tiap agama yang memasrahkan diri, sudah bagian dari Islam.

“IZINKAN AKU MENCINTAIMU WALAU AKU LIBERAL”: KETIKA FILSAFAT DAN CINTA TIDAK LAGI BERJARAK (PART II)

Pukul 18.20 setelah shalat Maghrib, sekretariat Forum Mahasiswa Muslim (FMM) UIN yang berada di Student Centre UIN Jakarta sudah ramai dihadiri seluruh aktivis muslim. Mereka hari ini berencana menyambangi sekretariat BEM Ushuluddin setelah nota protes yang dilayangkan ke Arisiska tak kunjung dibalas.

FMM sudah kepalang terendam amarah. Hari ini Arisiska harus segera ditemukan: “Hidup atau mati”.

Hannah Arendt dari Ciputat yang kalau sudah bicara suka nyelekit. Menstigma kader-kader FMM adalah antitesis peradaban yang lebih cocok tinggal di Arab ketimbang menganggu keutuhan Pancasila di Indonesia.

“Belum belajar Filsafat Sejarah Hegel dan Dekontruksi Derrida. Terlalu taklid dengan Imam Syafi’i. Orang-orang kaya Jaka itu nanti di neraka bingung. Ia bertanya-tanya kepada Tuhan, kenapa ia masuk neraka, sedangkan Bunda Theresa masuk Surga.”

“Hahahaha,” tawa terbahak-bahak kawan satu diskusinya.

Arisiska memang selain terkenal pintar dan cantik, juga terampil melucu.

“Lalu apa kata Tuhan, Sis?”

“Tuhan malah mengutip pendapat Cak Nur.”

“Hahahahaha,”

Gemuruh tepuk tangan kini membahana.

Sektretariat BEM Fakultas Ushuluddin dan Filsafat penuh sesak. Kantor mini yang berada di sekitar lantar dasar fakultas ini sedang menggelar surga buatan bagi satu2nya agama yang tidak memiliki neraka : Filsafat Perenialisme !

BEM Ushuluddin memiliki empat jadwal padat kajian tiap minggunya. Dimulai pada hari senin dimana tema akan bergulir mengenai Filsafat Politik. Disini mereka banyak berdiskusi tentang kenapa Islam tidak butuh Negara.

Kurikulumnya seperti mekanisme negara menurut Plato, sistem Politik dalam pandangan Aristoteles hingga gagasan tiranik Machiavelli. Rabu tema mulai mengarah ke arah wacana Islam Kontemporer. Materi tidak jauh2 seputar liberalisasi Islam, Heurmenetika, Dekonstruksi syariah, Homoseksual Halal, Poligami Jangan, Selingkuh Boleh.

Untuk hari Kamis sendiri tema akan mengendap pada Isu kontemporer seperti demokrasi sampai isu RUU Pornografi.

Dari hasil kajian selama ini, alih2 ingin membuat semangat mencintai Islam masuk ke sanubari tiap mahasiswa, yang terjadi justru sebaliknya.

Ujung-ujungnya mahasiswa UIN kini mulai ragu apa benar Al Qur’an itu asli dari Allah. Jangan-jangan Jibril salah maksud.

Kalau yang masih moderat isunya berkisar pada tanya: Masihkah cocok Al Qur’an diterapkan pada zaman sekarang, sedangkan Karl Marx, Nietsczhe, Adorno sudah gonta-ganti menulis buku.

Kini pas hari Jum’at tiba, mereka serius untuk berbicara perihal Tuhan.

Kesimpulannya bisa jadi dua : pertama, Tuhan tidak ada.

Kedua Tuhan mungkin ada. Ya mungkin!

Arisiska berdiri di depan whiteboard dengan sebuah spidol. Di hadapannya kini sekitar dua puluhan mahasiswa jurusan Akidah Filsafat, Tafsir Hadits, dan Perbandingan Agama setia menunggu limpahan kata darinya.

Ia ingin menyadarkan kawan2nya bahwa pada dasarnya semua agama memiliki cita rasa kebenaran. Tergantung bagian lidah mana yang mencicipinya.
Ditangannya masih tergenggam sebuah buku karangan Hans Kung, seorang filsuf yang gemar mengkampanyekan Pluralisme Agama dan baru2 ini mengunjungi UIN Jakarta. Sebuah buku yang relatif tidak terlalu tebal untuk ukuran buku tentang Filsafat Ketuhanan.

Sedangkan di bawah kakinya ada sekitar empat belasan buku mengenai perenialisme dan tema-tema ketuhanan lainnya.

Arisiska membuka diskusinya. Tangannya menari-nari menjelaskan. Gaya bicaranya agak berat dan menekan, “Islam tidak bisa mengklaim dirinya paling benar. Kristen begitu pula. Termasuk Hindu-Budha. Tuhan2 dalam agama itu adalah tuhan historis.

Konsekuensinya bahwa Islam dengan ibadah shalatnya, Kristen dengan ibadah gerejanya, dan Hindu dengan ritual kuilnya adalah sederet institusi formil yang berbicara pada wilayah eksoteris belaka.

Jadi, Islam dan agama2 lainnya sebenarnya menuju pada tuhan yang sama, hanya saja memiliki cara2 berbeda.

Pada intinya agama2 ini memang berbeda, namun kalau kita dalami, mereka sebenarnya memiliki visi serupa, yakni sebuah kepasrahan kepada ketentraman dan komitmen pada kedamaian. Inilah yang disebut filsuf seperti Fritjof Schuon dan Rene Guenon (Baca: Gino) dengan istilah Perenialisme.”

“Agar kawan2 tidak bingung, bisa kau jelaskan dari mana istilah Perenialisme itu. Karena selama ini kami hanya tahu pluralisme dan theosofi sebagai dampak dan akar perenialisme?” Tanya Reno, mahasiswa Akidah Filsafat semester tiga.

“Istilah philosophia perennis (filsafat perennial) ini sendiri digunakan pertama kali oleh Agostino Steuco, seorang pustakawan Vatikan dan Kristen Platonik.

Ia menulis De perenni philosophia pada tahun 1540 yang didedikasikan kepada Paul III.

Ia memaparkan dalam karya tersebut pemikiran Marsilio Ficino, tokoh penting dalam asal mula Tradisionalisme.”

Semua peserta diskusi yang rata2 pencinta buku itu masih mencerna-cerna.

“Kita diskusi mengalir saja. Tidak perlu serius, tapi bisa santai. Ada yang mau bertanya lagi disini?” Ungkap Arisiska bersoftlense oranye.

Rahmat angkat tangan. Kakinya bersila sambil melinting batang tembakau di jemarinya. Khas anak Ciputat yang suka selingkuh.

“Ya silahkan Rahmat,” arah Siska datar

‘’Lalu apakah dengan begitu konsep Perenialisme ini dapat menjamin kerukunan antar umat beragama ?

Mengingat walaupun tiap2 agama telah kita satukan sekalipun toh agama tetap saja memiliki klaim-klaim teologis yang tak bisa kita hindari.
Contohnya dalam Islam Nabi Isa tidak di salib, namun dalam Kristen justru sebaliknya.

Dalam Islam yang mengakui tuhan ada tiga itu kan kafir. Sedangkan Kristen, tidak mengakui kenabian Nabi Muhammad adalah keharusan.

Bagaimana mungkin kita bisa menjembatani kedua hal ini ?

Sedangkan Islam dan Kristen dari sisi teologis memberikan ruang cukup paradoks.” Tanya Rahmat, wakil ketua BEM Ushuluddin.

Anaknya cukup pintar, ia berencana mengambil S2 di Leiden University.

Kakak kelasnya di Paramadina sudah lebih dulu berada disana.

“Baiklah. Aku akan menjawab pertanyaan dari Rahmat. Aku bisa sarankan kamu untuk bisa membaca buku-bukunya Guenon.

Guenon memecahkan permasalahan yang seperti Rahmat utarakan dengan membagi perenialisme pada empat ciri mendasar.”

Arisiska mulai menulis berurutan di papan tulis,
  1. The unity of God.
  2. The Trinity of the manifested God.
  3. The hierarchy of beings.
  4. Universal brotherhood.
Matanya kini kembali menatap Rahmat, “Nah, mengacu kepada yang empat itu, Islam akhirnya dalam pandangan perenialisme, bisa jadi hanya benar bagi orang Islam saja. Kristen tidak bisa memaksakan agamanya kepada Islam. Begitu pula Hindu kepada Yahudi.

Karena pada dasarnya semua agama sama.

Bahwa Nabi Isa tidak disalib iya. Tapi kita wajib lebih mendahulukan relogio etik disini, ketimbang teologi tiranik.

Kalau sudah begitu, kebenaran itu akhirnya akan bermuara pada apa yang disebut Schuon dengan wilayah esoterisme.

Dengan begini kita tetap bisa menyatukan semua agama tanpa mengusir kebenaran pada masing-masing agama.

Nah kalau kita sudah berpandangan seperti ini.

Kita yakin tidak ada lagi klaim sepihak dan kekerasan antar agama.

Karena agama dalam hal ini menjadi relatif. Tetapi tetap dinamis.

Tanpa menutup ruang untuk mengeksistensikan kebenaran masing2.

So, inilah yang saya maksud dengan…..”

Arisiska mengambil spidolnya kembali dan menulis besar-besar di papan tulis “Absolut yang terelatifkan, dan relatif yang terabsolutkan.”

Rahmat terpukau.

Menurutnya sanggahan Arisiska cocok bagi orang2 literalis dan skriptualis yang sering menanyakan itu kepadanya.

Alhasil, mulai detik itu ia jatuh hati.

Jatuh hati pada seorang perempuan yang sudah dianggap Guru Besar Filsafat meski baru semester lima.



Sementara itu di sekret FMM, sahut-sahutan sudah mulai menggelora.

Kawan-kawan mendesak agar FMM melakukan tindakan pembalasan atas tindakan keji BEM Ushuluddin.

Nyali Alika Reza sebagai ketua akan dibuktikan disini.

Mereka semua meminta Reza minimal melayangkan pembalasan setimpal agar pemukulan dibalas pemukulan.

Foto wajah bengap anggota FMM yang dipukuli kini dipasang pada tiap fakultas dari mulai Psikologi sampai Sains dan Teknologi.

Lengkap dengan kop bertulis, “Inikah hasil dari diskusi Filsafat selama ini?”

Isu beredar bahwa tindakan represif itu diprovokatori Arisiska yang tidak diterima dibilang kafir dan pelacur oleh Jaka.

Arisiska tersinggung berat.

Ia ngotot tidak diterima dihina serendah itu oleh mahasiswa semester lima Fakultas Adab dan Humaniora yang masih bau kencur mengeja Islam menurut Arisiska. Sedang Jaka berucap bahwa hal itu wajar, “Memang Arisiska pelacur kok. Saya lihat tiap hari ia menerima uang dari salah satu Negara Eropa Barat.” Urai Jaka.

“Iblis betina. Antek Liberal.” Sahut lainnya

“Usir Arisiska dari UIN,” timpal rekan sejawat Jaka.

“BEM Ushuluddin perusak akidah mahasiswa baru.”

“Antek Dajjal”

Dan sumpah serapah lainnya yang tidak putus-putus.

BEM Ushuluddin kini terpojok.

Mereka yang selama ini terkenal anti kekerasan, cinta damai, pengusung ide kerukunan antar umat beragama, ternyata terbentur pada slogan.

Tindakan main hakim sendiri empat hari lalu meruntuhkan wibawa BEM.

Kini, seluruh anggota FMM dan berbagai elemen mahasiswa muslim di UIN telah berkumpul di satu titik yang sama: Depan Student Centre UIN.

Bendera Laailahailallah berkibar menampar-nampar udara bak panji-panji Shalahuddin Al Ayyubi membentang di bibir Palestina.

Satu langkah kini berjalan, mereka serentak berjalan diikuti pekikan takbir menuju sekret BEM Ushuluddin dan Filsafat.

Barisan terdepan terlihat sangat bersemangat. Iya mereka justru mahasiswa Ushuluddin sendiri. Ada Jaka dan beberapa kawan kelasnya.

Namun tidak lebih dari lima orang.

Mereka baris beraturan sambil membentangkan spanduk berwajah Arisiska dan gelimangan dolar di sekelilingnya.

Sedangkan di sekret, kajian masih terus berlanjut. Suasana makin memanas. Arisiska meletakkan jaket hitamnya di meja ruang sekret BEM Ushuluddin hingga menyisakan kaos putih bergambar Imanuel Kant di tengahnya. Waktu maghrib mereka lewati dengan mengindahkan untuk mendirikan shalat. Baginya, shalat tidak bisa dijadikan ukuran bahwa manusia itu cinta Tuhannnya atau tidak. Apalagi inti shalat adalah pengabdian kepada Allah sekaligus mengingatnya.

“Jadi Ibadah itu macam-macam. Diskusi juga ibadah, malah tingkat kekhusyukannya lebih tinggi dari shalat. Berfilsafat itu adalah dzikir paling elegan untuk mengingat Tuhan. Jadi orang yang namanya Immanuel Kant itu lebih soleh ketimbang anak dakwah kampus. Jangan heran kalau David Hume lebih sering menangis jika mengingat Tuhan ketimbang sederetan mahasiswa yang sering memanggil kawannya Akhi, Ukhti, Ekhu itu.”

“Hahahaha…” tepuk tangan seluruh peserta diskusi.

Tawa mereka riuh merespon Arisiska menyindir Lembaga Dakwah Kampus Syarif Hidayatullah.

Ruang sekeretariat ini sebenarnya hanya berlebar 10×10 meter. Tapi selalu penuh sesak karena massifnya kajian Filsafat rutin disini.

Di dindingnya ada sebuah moto besar berjudul terang: BUAT APA KITA BERTUHAN, JIKA TUHAN SENDIRI SAJA TIDAK BERTUHAN !

Sedangkan di sampingnya terbentang foto Arisiska tengah memberikan orasi di depan gedung DPR menolak disahkannya RUU Pornografi.

Saat itu Arisiska berteriak lantang, “Buat apa kita sibuk mengatur cara pakaian perempuan jika Tuhan sendiri juga mencintai keindahan.

Ingat Pak Ustadz, Tuhan tidak pernah melihat keshalehan hambanya dari aurat, tapi dari amalnya.”

Dan sebuah piagam besar pemberian sebuah kedubes Asing berdiri disampingnya: “Selamat Atas Terpilhnya Arisika Lenila Wahid Sebagai Srikandi Hak Asasi Manusia.” Ya gadis pintar, tapi menampar. Pecinta diskusi luar biasa untuk ukuran mahasiswi UIN seusianya. Selingkuhan abadi Michael Foucoult yang kadung membuat banyak mahasiswa ateis menyesal baru kali ini tidak bertuhan.

Saat Arisiska sedang akan menutup kajian, tiba2 dari luar sekret mulai terdengar keramaian. Sahut-sahutan mulai bergulir.

Tadinya satu orang, lama kelamaan disusul satu bundel barisan mahasiswa memanjang membentangkan spanduk bertuliskan, “Pluralisme Agama Bukan Bagian Dari Islam.”

Sekret BEM Ushuluddin panik bukan kepalang. Mereka menghentikan sejenak tawanya.

Kepala mereka beradu mencuri-curi pandangan dari jendela melihat situasi mulai penuh kegaduhan.

Sedang mereka sendiri tidak tahu apa yang terjadi.

Ketika telah sampai di depan sekret, Jaka menyuruh temannya berhenti memekikkan yel-yel.

Satu buah jarinya menyangga kelima jarinya membentuk payung petanda Jaka meminta kawan-kawannya berhenti bersuara.

Rahmat selaku wakil ketua BEM maju ke hadapan. Ia adalah teman satu kelas Jaka di jurusan Tafsir Hadits.

“Saya mencari Arisiska bukan kamu,” imbuh Jaka memegang balok.

“Ada urusan apa kamu dengan Arisiska? Kalau berani sama laki-laki jangan perempuan,” tantang Rahmat berbadan agak jangkung dan berambut ikal.

Ia mantan Preman di sekitar Situbondo.

“Aku tidak urusan denganmu, Mat. Minggir kamu,” halau Jaka melempar tubuh Rahmat yang dibalas Rahmat menarik lengan Jaka.

“Kau lewati dulu mayatku! Sebelum kau ingin bertemu ketua kami!” Tunjuk Rahmat tepat ke mata Jaka.

Dari arah belakang, Arif mahasiswa Fakultas Psikologi semester tujuh meminta keberanian Arisiska untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya,

“Ariska keluar kau. Berani berbuat berani bertanggung jawab dong.”

“Betul. Tunjukkan batang hidungmu kalau berani,” Sergah Anto. Kawan satu kos Alika Reza. 

Anto adalah perwakilan Fakultas Dirosah Islamiyah.

Kantor FMM di fakultas yang online dengan kurikulum Universitas Al Azhar Kairo ini hancur berkeping-keping.

Suasana semakin meruncing. Aroma bentrokan semakin kuat. Rahmat dan kawan-kawan mulai melakukan border melindungi pintu masuk sekret.

Sementara Situasi Ciputat ramai riuh. Peserta Paduan Suara Mahasiswa UIN yang sedang latihan di samping sekret BEM lari berhamburan menjauh dari tempat kejadian. Duel akan berlangsung seru. Sayyid Quthb VS Immanuel Kant. Al Ghazali VS Descartes. David Hume VS Al Kindi. Islamisasi VS Dekonstruksi.

Para mahasiswa ekstensi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang baru keluar dari perkuliahan turun rembug melihat dua kelompok massa sudah saling berhadapan. Mereka terpecah antara bergabung ke BEM dan masuk dalam lingkuran FMM. Situasi ini mirip seperti momentum bentrok fisik setelah Pemira pada tahun 2004 (sampai kini juga masih sering terjadi) silam antara Partai Reformasi Mahasiswa dan Partai Persatuan Mahasiswa. Dua basis kekuatan politik terbesar di UIN Jakarta.

Sementara elemen mahasiswa muslim yang tergabung dalam FMM terus mendesak,

“Buka…buka..buka.. buka border-nya.”

Arisiska terkepung, sedang Rahmat menoleh ke belakang meski tangannya tergenggam kuat mempertahankan border.

“Tahan dirimu di dalam Siska. Aku akan menjagamu disini.”

Untuk menghindari konflik, Arisiska akhirnya menepis imbauan Rahmat. Ia memberanikan diri keluar dari peraduannya, berjalan lembut sambil merapihkan jaket hitam ketatnya persis Anna Freud keluar dari ruang prakteknya: Ayu dan tampak tak berdosa. Arisiska mengangguk kepada teman-temannya agar tidak terpancing emosi. Kini ia telah berada di depan Jaka, “Ya ini saya. Ada perlu apa?”

Jaka tersenyum sungging, “Akhirnya keluar juga dalang dari semua skenario ini. Pembual sejati. Mengaku bagian dari pengusung nirkekerasan (baca: ide tanpa kekerasan). Ternyata tulisan-tulisanmu selama ini hanyalan isapan jempol belaka. Murahan sekali kau Lenila.

Cantik tapi berhati iblis. Berapa dolar kau dibayar Eropa?”

Pemilik nama lengkap Arisiska Lenila Wahid itu mengeyampingkan wajahnya. Kedua tangannya terlipat. Dengan tenang, ia balik tersenyum. “Selamat Datang Skriptualis. Pecinta Teks. Pemikir Kolot Abad 21 yang hanya bisa menggerutu tanpa ilmu. Tiranik abad pertengahan yang bangkit dari kuburnya. Maaf ini bukan Vatikan. Aku bisa mengurus perizinanmu untuk pindah dari Indonesia. Berapa hargamu?” balas Siska pedas.

“Ow.. bukankah kau yang selama ini punya standar bayaran wahai pelacur?”

Arisiska melepas lipatan tangannya. Kedua softlense oranye di matanya tiba-tiba terdiam. Ia naik pitam mendengar stigma hina bagi seorang perempuan itu terbentang di hadapannya. Ia menunjuk wajah Jaka dengan satu telunjuk terpantau lurus, ”Jaga omonganmu. Hati-hati kalau bicara.”

“Kalau kau memang tidak merasa, kenapa harus marah?”

“Aku tidak pernah mencari uang haram demi kebutuhanku.”

“Owwh mendekat ke Negara adidaya itu dan meminta segenap dolar untuk membunuh Islam kau pikir bukan pekerjaan haram?

Owwh semoga aku tidak menyesal kau telah menjadi Presiden BEM saat ini.” Jaka bertepuk tangan seraya tersenyum lalu menoleh ke arah kerumunan kawan-kawannya.

“Hahahahaha…” Gantian Arisiska kini menjadi bahan tawa.

Arisiska sudah mati sabar, ia melempar dengan kencang sebuah buku ke wajah Jaka,

“Bruuk..”

Jaka memegangi wajahnya. Ia tidak terima dilempar buku oleh Arisiska, “Dasar jalang.”

Dan Jaka balik mengangkat tanganya ke langit dan siap menampar wajah kecil Siska.

Arisika menutup muka dengan kedua tangan,

Saat tangan Jaka hampir tiba di muka Siska, tiba-tiba dari belakang Reza menahan tangan Jaka, “Tahan emosimu, Jak. Kita boleh kesal. Tapi kita selesaikan masalah dengan baik.

Bagaimanapun Arisiska adalah adik dari Almarhum Akh Ahmad.”

Melihat kehadiran Reza, Siska terdiam. Ia menaikkan wajahnya. Ia tahu betul siapa pria yang di depannya ini. Pria satu-satunya yang menyanggah tulisannya tentang Rasionalisme Descartes dengan genangan artikel dua puluh lembar yang menyala-nyala.

Berjudul terang tapi tetap lembut: Kesalahan Saudari Arisiska Dalam Membandingkan Rasionalisme Descartes dan Al Ghazali.

Iya, dua kakak beradik dari orangtua kandung bernama ilmu.

Reza dan Siska beradu pandangan, dan Reza membenamkan wajahnya. Ujian ini menyentuh titik terlemah seorang laki-laki sepertinya. Ia sadar bahwa ia adalah seorang leader di FMM. Statusnya adalah ikhwan. Reza berada dalam posisi dilema. Ia harus memilih antara hatinya dan prinsipnya.

Ia tidak sadar mana yang menjadi keladi rasa cintanya kepada Arisiska. Apakah kepintarannya, kecintaannya terhadap ilmu, atau jelitanya. Namun yang pasti ucapan almarhum Akh Ahmad sebelum wafat selalu mengiang di tiap istikharahnya, “Akhi titip adik ana. Sadarkan ia. Nikahkan jika memang antum ingin berdakwah kepadanya. Mungkin permintaan ini terasa aneh. Tapi percayalah akhi, ini adalah suara lubuk hati dari nurani seorang kakak yang tak tega melihat sang adik sedang terkena tipu daya dunia. Sungguh Arisiska adalah adik perempuan kami satu-satunya pengemban amanah keluarga. Berjanjilah Akh Reza, kitab Ma’alim fiththriqh ini menjadi saksi bahwa cinta itu ada.”

Reza ingin menangis menyadari betapa beratnya ujian Allah. Ya berat karena tepat menghantam titik lemah dirinya.

Penggiat Islamisasi Sains dan Sayyed Naquib Al Attas Muda dari Ciputat itu akhirnya menangis dalam hatinya.

Mengungkapkan perasaan jauh lebih sulit ketimbang melukis pemikiran.

Reza mengambil buku yang dilempar Arisiska ke wajah Jaka. Ternyata kitab Ma’alim Fiththoriqh itu. Dan Reza mengangkat kepalanya menghadap Siska.

“Andai kau tahu Siska apa yang diamanahkan amarhum kakakmu kepadaku”

-Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi-

*Penulis adalah alumnus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Semasa kuliah aktif pada kajian-kajian Keislaman dan Filsafat di Ciputat, diantaranya HMI, Forum Kota, dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Mantan Wakil Ketua Kongres (MPR) UIN Jakarta dan Ketua BEM Bimbingan dan Konseling Islam. Selepas kuliah, kini aktif pada diskusi sabtuan INSISTS, Kajian Zionisme Internasional, dan Kuliah Peradaban Islam DISC UI.